Minggu, 14 Oktober 2012

MEMBANGUN GENERASI QUR`ANI

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
jika kita renungi judul makalah ini maka memang terdengar ringan diucapkan akan tetapi jika memang kita terapkan maka akan semakin mendalamkan keyakinan kita bahwa al-Qur’an sangat penting dibaca, dipelajari, digali, dipahami, di jiwai, dan diaktualisasikan dalam kehidupan nyata. Bagaimana upaya kita membangun generasi pengamal al-Qur’an, yang menjunjung tinggi al-Qur’an, berpegang teguh kepada al-Qur’an, cinta terhadap al-Qur’an dan bangga dengan al-Qur’an. Inilah yang akan menjadi topik pembahasan kami pada hari ini, yaitu “Membangun Generasi Qurani”. Berlandaskan surat Al Qashas Ayat 26, yakni :
وَقَالَتْ إِحْدهُمَا يَأَبَتِ اسْتَئجِرْهُ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَئْجَرْتَ الْقَوِيُّ اْلأَمِينُ (القصص : 26)
“Salah seorang dari kedua orang wanita itu berkata : Ya bapakku ambillah dia sebagai orang yang bekerja pada kita, karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja pada kita ialah orang yang kuat lagi dipercaya”
    Dipenghujung ayat yang kita simak tadi terdapat kalimat Alqawiyyul amiin yang artinya kuat nan dipercaya. Dua sifat ini menyifati sesosok pemuda bernama Musa.Yang pertama Al qawwi, Dalam surat Albaqarah ayat 247 menggambarkan sosok yang kuat dengan yakni memiliki ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa. Kita membutuhkan generasi-generasi seperti ini. Berotak cerdas, berwawasan luas, dan mau bekerja keras. Maka  pribadi yang berilmu dan memiliki etos kerja akan sanggup membangun dan menjalankan Syariat Islam tersebut sebagaimana mestinya.
Maka Jika kita jadi pedagang jauhi penyelewengan dalam pekerjaan. Jika kita jadi wartawan, jauhi mengada-ngada dalam berita. Jika kita jadi suami atau istri, jauhi berselingkuh diluar rumah, jika kita jadi pejabat, jauhi korupsi kolusi dan nepotisme. Sikap dan pribadi inilah yang kita butuhkan untuk membangun generasi qur’ani yang dapat menjadi pemimpin yang Qawiyyul amiin bagi Indonesia. Aaamiiin.
ْ
B.    Rumusan Masalah
Dalam makalah ini akan dibahas beberapa masalah diantaranya:
1.    Pentingnya penerapan alqu’an dalam kehidupan.
2.    Berbagai macam upaya membangun generasi qur’ani
3.    Cara mendidik anak yang tepat supaya menjadi generasi qur’ani
C.    Tujuan
Setelah membaca makalah ini diharapkan pembaca dapat:
1.    Mengetahui Pentingnya penerapan alqu’an dalam kehidupan.
2.    Mentahui Berbagai macam upaya membangun generasi qur’ani
3.    Mengetahui Cara mendidik anak yang tepat supaya menjadi generasi qur’ani



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Mengenal Generasi Qur’ani
Dakwah Rasulullah SAW, pernah menghasilkan generasi yang tidak pernah dikenal sebelumnya, yaitu generasi para Sahabat. Generasi yang memiliki ciri atau karakter tersendiri, dan mempunyai pengaruh yang luar biasa dalam sejarah Islam. Nampaknya dakwah ini tidak pernah lagi menghasilan sebuah generasi seperti yang pernah dihasilkan generasi para Shahabat.
Memang sepanjang sejarah selalu ada orang-orang besar, yang menghiasi lembaran-lembaran sejarah, tetapi mereka tidak akan pernah dapat menyamai generasi para Shahabat. Tidak pernah terjadi sepanjang sejarah, di mana berkumpul sedemikian banyaknya, pada suatu tempat dan periode, sebagaimana terjadi pada periode dakwah yang pertama, yang dilaksanakan oleh Rasulullah SAW.
Allah SWT telah menjamin untuk memerlihara ketinggian dakwah ini, dan mengajarkan bahwa dakwah ini terus berjalan dengan tidak adanya Rasulullah SAW. Semua ini tak lain merupakan buah dari dakwah Beliau, yang melaksanakan dakwah selama 23 tahun, lalu Rasulullah SAW dijemput-Nya, dikekalkan-Nya agama ini sampai akhir zaman. Dakwah terus berjalan dengan penuh geloranya, karena telah adanya Al-Qur’an dan As-Sunnah, yang merupakan warisan kekal, sepanjang zaman dan sejarah manusia.
Mengapa generasi pertama dalam dakwah ini, mempunyai karakter yang khas, dan tidak akan pernah terjadi lagi sesudahnya, karena mereka berinteraksi langsung dengan Rasulullah SAW, dan menerima wahyu (Al-Qur’an), dan mengamalkannya. Mereka mengambil Al-Qur’an sebagai sumber bagi kehidupannya. Tidak mengambil sumber dari sumber-submer yang bathil buatan manusia. Seperti digambarkan Rasulullah SAW :
“Sewaktu Aisyah RA, ditanya tentang budi-pekerti Rasul Shallahu alaihi wa sallam, ia berkata : “Budi pekertinya adalah Al-Qur’an”.
Al-Qur’an menjadi satu-satunya sumber bagi kehidupan mereka, menjadi ukuran, dan dan dasar berpikir mereka. Ketika itu, bukan manusia tidak memiliki peradaban di bidang ilmu pengetahuan dan peradaban. Bukan. Justru saat itu

peradaban Romawi, ilmu pengetahuan, dan hukum Romawi, yang sekarang masih menjadi ciri atau ideologi Eropa. Bahkan terdapat pengaruh peradaban Yunani, yang begitu kuat, di dalam kehidupan, sumber peradaban materi, yang sekarang terus mengalami dekadensi, yang menuju kehancurannya.
Mengapa generasi pertama dakwah ini, membatasi diri, dan tidak mau menerima berbagai peradaban dan pemikiran yang ada waktu, dan sudah sangat maju? Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam, ingin membentuk sebuah generasi baru, yang dikenal dengan “Generasi Qur’ani”. Mereka yang benar-benar hidup dibawah naungan Al-Qur’an. Tidak hidup dibawah pengaruh atau terkontaminasi dengan peradaban Romawi dan Yunani, yang merupakan induk dari peradaban materialisme. Ada peradaban India, Cina, Romawi, Yunani, Persia, semuanya mengelilingi jazirah Arab dari Utara dan Selatan. Agama Yahudi dan Nashrani juga hidup di jazirah Arab, yang melahirkan peradaban dan budaya paganisme.
Rasulullah SAW membatasi para Shahabat, yang ingin membentuk sebuah generasi baru, yang akan menjadi suri tauladan, bagi seluruh umat manusia, sepanjang sejarahnya. Tidak mungkin Islam akan dapat menjadi sebuah peradaban baru, yang akan membangun kehidupan umat manusia dengan sebuah minhaj baru, yang akan membebaskan manusia dari segala bentuk perbudakan yang ada. Rasulullah SAW hanya membatasi para Shahabat dengan Al-Qur’an, dan nilai-nilai kemuliaan yang ada dalam Al-Qur’an.
Rasulullah SAW dengan rencananya, khususnya dalam periode ‘formatifnya’ (pembentukan), tidak memberi kesempatan kepada para Shahabat sedikitpun mereguk nilai-nilai diluar Al-Qur’an. Al-Qur’an yang Beliau terima dari Malaikat Jibril disampaikan kepada para Shahabat, dan mereka mengamalkannya dengan penuh keimanan. Karena itu, generasi pertama yang merupakan bentukan Rasulullah SAW, merupakan generasi paling mulia, generasi yang merupakan kelompok yang disebut dalam Al-Qur’an sebagai ‘asy-syabiquna awwalun’ (mereka yang pernah istijabah menerima Al-Qur’an), dan istijabah terhadap dakwah Rasulullah SAW.
Maka, ketika itu, Rasulullah SAW marah kepada Umar bin Khatthab, waktu itu melihat Umar di tangannya ada selembar buku Taurat. Beliau bersabda :
“Demi Allah, seandainya Nabi Musa hidup di kalangan kamu sekarang ini, ia pasti mengikuti saya”. (HR. al-Hafiz Abu Ya’ala, dari Hammad, dari as-Syabi dari Jabir)
Generasi para Shahabat yang mendapatkan tarbiyah langsung dari Rasulullah SAW, sebuah generasi yang unik, dan betapa mereka menjadi penyebar Islam ke seluruh dunia. Mereka pula di saat bulan Ramadhan berperang menaklukkan kafir Qurays, dan hanya dalam jumlah 300 Shahabat, melawan seribu pasukan Qurays, dan berhasil menaklukan pusat peradaban jahiliyah, yaitu Makkah.
Fathul Makkah berlangung di saat bulan Ramadhan. Jihad para Shahabat yang pertama dalam sejarah yang agung itu, berlangsung di bulan Ramadhan. Mereka berhasil membersihkan kota Makkah, yang merupakan pusat perdaban jahiliyah, kemudian menjadi pusat peradaban tauhid, yang hanya menyembah Allah SWT. Berhala-berhala yang menjadi pusat kesyirikan dibersihkan para Shahabat yang dipimpin Rasululllah SAW.
Tidak ada lagi kehidupan syirik yang menjadi ciri kehidupan kaum jahiliyah di sekitar Ka’bah. Kemudian, semuanya menjadi penyembah tauhid, dan hanya semata-mata menyembah ALLAH SWT. Ini merupakan bentuk kemenangan dari para generasi Qur’ani, yang dikenal dengan para Shahabat, dan yang hidup dibawah naungan Al-Qur’an, mendasari kehidupan dengan Al-Qur’an, dan menjadikan Al-Qur’an sebagai minhajul hayah. Kemenangan generasi Shahabat melawan kaum jahiliyah Makkah, menandakan adanya era baru dalam kehidupan ummat manusia, yang sebelumnya dibelenggu peradaban jahiliyah yang menyembah berhala dan materialisme, dan telah membawa kesesatan bagi kehidupan manusia di Makkah telah berakhir.
Al-Qur’an telah menciptakan sebuah kehidupan baru bagi bangsa-bangsa di dunia. Inilah warisan dari generasi Qur’ani yang langsung dididik oleh Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam, yang bangkit melawan berbagai bentuk penyimpangan, kesesatan dan kedurhakaan terhadap Allah Rabbul Alamin .


B.    Membentuk Generasi Qur’ani

a.    Mengenalkan al-Qur’an sejak dini
Masa kanak-kanak merupakan fase yang paling subur untuk melakukan pembinaan keilmuan dan pemikiran. Pada masa ini daya tangkap dan daya serap otak mereka berada pada kemampuan maksimal; dada mereka lebih longgar dan lebih hapal terhadap apa yang mereka dengar. Abu Hurairah ra. meriwayatkan secara marfû’, bahwa Rasulullah saw. bersabda (yang artinya): Siapa yang mempelajari al-Quran ketika masih muda, maka al-Quran itu akan menyatu dengan daging dan darahnya. Siapa yang mempelajarinya ketika dewasa, sedangkan ilmu itu akan lepas darinya dan tidak melekat pada dirinya, maka ia mendapatkan pahala dua kali. (HR al-Baihaqi, ad-Dailami, dan al-Hakim). Agar para orangtua dapat mengarahkan anak melangkah menuju ilmu, belajar, serta mencintai ilmu dan ulama, ada beberapa hal penting yang harus ditempuh:
1.    Tanamkan bahwa menuntut ilmu adalah perintah Allah Swt.
Kecintaan anak kepada Allah, yang seyogyanya sudah terlebih dulu ditanamkan, akan memunculkan ketaatan pada perintah-Nya dan takut akan azab-Nya, termasuk dalam menuntut ilmu. Cinta dan takut kepada Allah akan memunculkan sikap konsisten dalam mencari ilmu tanpa bosan dan dihinggapi rasa putus asa.
2.    Tanamkan bahwa al-Quran adalah sumber kebenaran.
Al-Quran sebagai sumber kebenaran (QS al-Maidah [5]: 48) sejak awal harus disampaikan oleh orangtua kepada anak. Semua yang benar menurut al-Quran itulah yang harus dan boleh dilakukan. Ini memerlukan keteladanan orangtua. Dengan begitu, anak akan melihat realisasi al-Quran sebagai sumber kebenaran dalam setiap perilaku orangtuanya. Begitu pula ketika menilai suatu keburukan, semuanya dinilai dengan standar al-Quran.
3.     Ajarkan metode belajar yang benar menurut Islam.
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan dalam kitab As-Syakhshiyah al-Islâmiyyah jilid 1, bahwa Islam mengajarkan metode belajar yang benar, yaitu:
•    Mempelajari sesuatu dengan mendalam hingga dipahami apa yang dipelajari dengan benar.
•    Meyakini ilmu yang sedang dipelajari hingga bisa dijadikan dasar untuk berbuat.
•    Sesuatu yang dipelajari bersifat praktis, bukan sekadar teoretis, hingga dapat menyelesaikan suatu masalah.
Dalam mempelajari alam semesta, misalnya, dikatakan secara teoretis bahwa bulan mengelilingi bumi. Untuk menjadikannya sebagai pemahaman yang mendalam haruslah anak diajak melihat fakta bulan, yang dari hari ke hari berubah bentuk dan besarnya. Dengan demikian, anak pun menjadi yakin bahwa perubahan tanggal setiap harinya adalah karena peredaran bulan. Dengan begitu, ia dapat mengetahui bahwa menentukan tanggal satu Ramadhan, misalnya, adalah dengan melihat bulan.
4.    Memilihkan guru dan sekolah yang baik bagi anak. Guru adalah cermin yang dilihat oleh anak sehingga akan membekas di dalam jiwa dan pikiran mereka. Guru adalah sumber pengambilan ilmu. Para Sahabat dan Salaf ash-Shâlih sangat serius di dalam memilih guru yang baik bagi anak-anak mereka.
Ibnu Sina dalam kitabnya, As-Siyâsah, mengatakan, “Seyogyanya seorang anak itu dididik oleh seorang guru yang mempunyai kecerdasan dan agama, piawai dalam membina akhlak, cakap dalam mengatur anak, jauh dari sifat ringan tangan dan dengki, dan tidak kasar di hadapan muridnya.”
Imam Mawardi (dalam Nashîhah al-Mulûk hlm. 172) menegaskan urgensi memilih guru yang baik dengan mengatakan, “Wajib bersungguh-sungguh di dalam memilihkan guru dan pendidik bagi anak, seperti kesungguhan di dalam memilihkan ibu dan ibu susuan baginya, bahkan lebih dari itu. Seorang anak akan mengambil akhlak, gerak-gerik, adab dan kebiasaan dari gurunya melebihi yang diambil dari orangtuanya sendiri.”
Begitupun memilihkan sekolah yang baik yang di dalamnya diajarkan hal-hal yang tidak bertentangan dengan agama, apalagi yang merusak akidah anak-anak Muslim. Banyak orangtua memilih sekolah untuk anaknya sekadar agar anak dapat memperoleh ilmu dan prestasi yang bagus, tetapi lupa akan perkembangan kekokohan akidah dan akhlaknya.
Namun demikian, tentulah guru yang paling pertama dan utama adalah orangtuanya, dan sekolah yang paling pertama dan utama adalah rumah tempat tinggalnya bersama orangtua.
5.    Mengajari anak untuk memuliakan para ulama. Abu Umamah ra. menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda (yang artinya): Ada tiga manusia, tidak ada yang meremehkan mereka kecuali orang munafik. Mereka adalah orangtua, ulama, dan pemimpin yang adil. (HR ath-Thabrani).
Ulama adalah pewaris para nabi. Memuliakan dan menghormati mereka, bersikap santun dan lembut di dalam bergaul dengan mereka, adalah di antara adab yang harus dibiasakan sejak kanak-kanak. Memuliakan ulama menjadikan anak akan memuliakan ilmu yang diterimanya, yang dengannya Allah menghidupkan hati seseorang. Abu Umamah ra. juga menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda (yang artinya): Sesungguhnya Luqman berkata kepada putranya, “Wahai anakku, engkau harus duduk dekat dengan ulama. Dengarkanlah perkataan para ahli hikmah, karena sesungguhnya Allah menghidupkan hati yang mati dengan cahaya hikmah, sebagaimana Dia menghidupkan bumi yang mati dengan hujan deras.” (HR ath-Thabrani).
6.    Membiasakan seluruh keluarga membaca dan menghapal ayat-ayat al-Quran dan Hadis Nabi saw. Dalam membina akidah anak, mengajarkan al-Quran dan Hadis Nabi saw. adalah hal yang utama dalam membentuk mentalitas anak. Keduanya merupakan sumber untuk menghidupkan ilmu yang akan menyinari dan menguatkan akal. Para Sahabat ra. sangat berambisi sekali mengikat anak-anak mereka dengan al-Quran. Anas bin Malik ra., setiap kali mengkhatamkan al-Quran, mengumpul-kan istri dan anak-anaknya, lalu berdoa untuk kebaikan mereka. Pada masa Rasulullah saw. masih hidup, Ibnu Abbas ra. telah hapal al-Quran pada usia sepuluh tahun. Imam Syafii rahimahullâh telah hapal al-Quran pada usia tujuh tahun. Imam al-Bukhari mulai menghapal hadis ketika duduk dibangku madrasah dan mengarang kitab At-Târîkh pada usia 18 tahun.
7.    Membuat perpustakaan rumah, sekalipun sederhana.
Mempelajari ilmu tak akan lepas dari kitab ataupun buku-buku sebagai media referensi yang senantiasa akan memenuhi kebutuhan ilmu. Keberadaan perpustakaan rumah menjadi hal yang sangat penting untuk mengkondisikan anak-anak seantiasa dekat dengan ilmu dan bersahabat dengan kitab-kitab ilmu. Imam asy-Syahid Hasan al-Banna dalam Risâlah-nya, Sarana Paling Efektif dalam Mendidik Generasi Muda dengan Pendidikan Islam yang Murni, mengatakan, “Adalah sangat penting adanya perpustakaan di dalam rumah, sekalipun sederhana. Koleksi bukunya dipilihkan dari buku-buku sejarah Islam, biografi Salafus Shâlih, buku-buku akhlak, hikmah, kisah perjalanan para ulama ke berbagai negeri, kisah-kisah penaklukan berbagai negeri, dan semisalnya….”
8.    Mengajak anak menghadiri majelis-majelis kaum dewasa.
Nabi saw. pernah menceritakan bahwa beliau ketika masih kecil juga turut menghadiri majelis-majelis kaum dewasa. Beliau mengatakan:
 “Aku biasa menghadiri pertemuan-pertemuan para pemuka kaum bersama paman-pamanku….” (Diriwayatkan oleh Abu Ya’la dengan sanad sahih dalam Musnad-nya [2/157] dan oleh Ahmad [1/190]).
Dengan membawa anak-anak ke majelis orang dewasa, akalnya akan meningkat, jiwanya akan terdidik, semangat dan kecintaannya kepada ilmu akan semakin kuat. Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb .

b.    Mengenal Usia Belajar Anak
Untuk mendapatkan usaha pembelajaran yang maksimal tentu harus tahu perkembangan Psikologis usia anak untuk menerima suatu materi, maka dengan melihat usia pendidikan/sekolah anak dapat disimpulkan :

1)    Pendidikan masa kehamilan.
Saat hamil Ibu sudah dapat melakukan hal-hal yang dapat merangsang janin yang masih dalam keadaan fitrah tauhid (QS al-A‘raf [7]: 172). Secara praktis, ibu mengkondisikan dirinya yang sedang mengandung janin agar selalu berada dalam suasana hati, jiwa, dan pikiran yang dipengaruhi oleh akidah Islam dan keterikatan terhadap syariat Islam. Di samping membereskan pekerjaan rumah tangga, Ibu hamil harus:
    lebih mengoptimalkan pendekatan dirinya kepada Allah dengan meningkatkan ibadah: shalat, tadarus, berdoa, berzikir, dll;
    lebih meningkatkan semangat mempelajari Islam (dengan cara membaca buku-buku keIslaman ataupun menghadiri majelis ilmu yang membahas akidah Islam dan memperhatikan halal-haram) sebagai bekal untuk mendidik anaknya dan sebagai pedoman dalam menjalani kehidupannya.
    mengalirkan semangat memperjuangkan kemuliaan Islam dan kaum Muslim dengan lebih giat lagi mengikuti kegiatan keislaman dengan tetap memperhatikan kondisi kesehatannya.

2)    Pendidikan usia bayi (0-1 tahun).
Ibu harus merangsang seluruh pancaindera anak dengan hal-hal yang tidak dilarang oleh Allah, bahkan pelaksanaan perintah-perintah-Nya. Bayi berkesempatan sebanyak mungkin menyaksikan ibu yang sedang menjalankan perintah-perintah Allah.  Bayi sering diperdengarkan bahasa Islam termasuk kalimat thayyibah, shalawat, istighfar, doa, bacaan al-Quran, dll.

3)    Pendidikan usia prasekolah.
Anak sudah dapat dilibatkan secara praktis dalam setiap usaha penanaman nilai-nilai Islam, seperti :
    Mengenalkan Allah melalui ciptaan-Nya dan segala sesuatu Pemberian Allah untuk manusia.
    Menanamkan kecintaan kepada Allah dan Rasulullah dengan menunjukkan sekaligus mengajak anak melaksanakan perintah Allah dan meninggalkan larangan Allah dalam kehidupannya sehari-hari.
    Membentuk idola para tokoh Islam, terutama para sahabat, sebagai teladan nilai-nilai Islam.
    Menanamkan akhlak Islam.
    Mengenalkan dan membiasakan membaca al-Quran secara bertahap: talqîn, tahfîzh, tadarrus.
    Membiasakan mengucapkan kalimat thayyibah sesuai dengan peristiwa yang dialami anak dalam kehidupan sehari-hari.
    Membaca doa sehari-hari.
    Membiasakan memanfaatkan waktu dengan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat: bermain yang selektif dalam jenis permainannya, teman bermainnya, waktu, dan tempatnya; menonton TV yang terkendali waktu dan programnya terutama program berita dan pengetahuan untuk menumbuhkan sikap intelektualitasnya dan terbiasa memperhatikan keadaan manusia termasuk kaum Muslim di berbagai negara dalam berbagai peristiwa; membaca buku (dibacakan).
    Memasukkan anak ke TK Islam yang materi pendidikannya lebih banyak keislamannya meliputi doa, hadis, surat-surat pendek, gerakan dan bacaan shalat, kisah-kisah para nabi dan para sahabat, belajar al-Quran dengan metode iqra, lagu-lagu Islami, dll.
    Mengajak anak mengikuti kegiatan keislaman ayah atau ibu setiap ada kesempatan, baik mengikuti maupun mengisi kajian keislaman.
    Mengkondisikan suasana di rumah senantiasa kental warna keislamannya.
    Bapak bisa mengajak anak shalat berjamaah ke masjid atau manakala bepergian jauh selalu mampir ke masjid untuk menumbuh kecintaan anak pada masjid.

4)    Pendidikan usia sekolah.
Anak-anak sudah mulai diajarkan untuk serius dan terencana dalam menjalani kehidupan. Penanaman nilai-nilai Islam sudah dapat dilakukan dengan metode berpikir dan berdialog untuk menumbuhkan kesadaran akan keterikatannya dengan syariat Islam dan mempersiapkan anak memasuki usia balig secara matang. Kegiatannya sehari-hari sudah terjadwal sedemikian rupa sehingga tidak ada waktu yang terbuang sia-sia. Misalnya, membuat majalah dinding di rumah, terbiasa mendengarkan program berita setiap hari, banyak membaca buku untuk memperluas wawasan, mengomentari apa saja yang dilihat dengan pemikiran-pemikiran Islam dan syariat Islam, membuat klipping informasi penting, senang mengikuti kegiatan-kegiatan kajian keislaman, dll.
Dengan demikian, program majelis taklim keluarga sudah dapat dimulai. Waktu belajar adalah ba’da Subuh dan ba’da Maghrib sekitar 1/2-1 jam sesuai dengan kondisi masing-masing, setiap hari. Materi pelajaran ditujukan untuk membentuk kepribadian Islam serta yang diperlukan oleh umat Islam, yang akan berlanjut dari tingkat SD, SMP, SMU, dst. Dana yang diperlukan hanya untuk melengkapi buku-buku pokok sebagai pegangan dan buku-buku referensi tambahan sebagai pelengkap. Pengajarnya adalah ayah dan ibu. Kita dapat melakuakn semua itu sambil memotivasi masyarakat sekitar agar terdorong untuk mendidik anak-anaknya menjadi generasi unggulan sehingga mereka membutuhkan adanya madrasah diniyah di lingkungan tersebut.
Selanjutnya, dengan menggunakan fasilitas dan sarana yang ada maka kita dapat melaksanakan madrasah diniyah tersebut setiap sore hari ba’da sholat Ashar bagi anak usia SD atau ba’da Isya setiap hari bagi anak tingkat SMP/SMU/dst. Gambaran materi pengajaran pada anak usia sekolah dapat dilihat pada table.
Usia Sekolah    Gambaran Materi Pengajaran
SD/MI
(umur 7 tahun sampai menjelang baligh)    Melatih anak menyiapkan diri menerima tugas-tugas kemanusiaan sebagai hamba Allah dengan cara:
1)    Mulai konsentrasi belajar baca tulis dan selanjutnya dirangsang untuk gemar membaca.
2)    Penanaman aqidah agar tertancap kuat dalam benak anak, dengan metode aqidah aqliyah secara praktis sebagaimana pendekatan Al Quran.
3)    Melanjutkan hafalan qur’an, hadits, do’a, bacaan sholat dan artinya.
4)    Mengamalkan apa yang dibolehkan dan diharamkan sehingga mulai mengatur kehidupan anak agar selalu terikat dengan syariat Islam.  Umur 7 sampai 10 tahun diajarkan hukum-hukum ibadah: shalat, shaum, zakat, haji, dll.  Targetnya adalah pengenalan dan pelatihan (pembiasaan) praktek ibadah yang fardhu ‘ain.  Salah satu metode yang dapat dilakukan misalnya dengan membuat buku catatan ibadah harian si anak, agenda ramadhan, dll.  Pada umur 10 tahun sampai baligh, mulai pendisiplinan untuk menjalankan ibadah yang fardhu ‘ain (sampai kalau perlu dipukul) agar setelah memasuki usia baligh sudah tidak berat dan tidak lalai lagi dalam menjalankan kewajiban-kewajibannya, sehingga dapat dilanjutkan pada hukum Islam yang bersifat fardhu kifayah.  Jadi sudah harus ditumbuhkan kesadaran akan keterikatannya dengan syariat Islam, sehingga diperlukan kajian tentang Islam sebagai aqidah dan syariat.
5)    Memperbanyak tsaqofah Islam (ilmu pengetahuan yang berlandaskan aqidah Islam) seperti fiqh, siroh nabi, teladan para sahabat (yang disampaikan dalam bentuk cerita), bahasa Arab untuk dipraktekkan dalam kegiatan sehari-hari, tajwid, tilawah, tafsir, khot.
6)    Mulai latihan berbicara di depan umum, seperti membacakan ayat Qur’an, hadits, baca puisi, dll
SMP    Anak sudah memasuki masa baligh, sehingga sudah wajib untuk melaksanakan hukum Islam secara sempurna.  Sehingga anak harus mulai digambarkan Islam secara utuh sebagai sebuah system aturan hidup (mabda).
Materi yang urgen:
1)    Mabda Islam dan perbandingannya dengan mabda lain
2)    Kewajiban dakwah
3)    Taqorrub ilallah
4)    Fikrul Islam
5)    Dirosat fil fikril Islam
6)    Problematika umat
7)    Bahasa arab dari segi nahwu shorofnya untuk diterapkan dalam mengkaji kitab-kitab berbahasa Arab
8)    Kajian tafsir
9)    Kajian hadits
10)    Kajian lanjutan tentang siroh nabi dan teladan para sahabat nabi
11)    Latihan menjadi imam dan khutbah
12)    Latihan menulis
13)    Mulai mengikuti kegiatan-kegiatan edukatif yang ada secara pasif seperti seminar, bedah buku, tabligh akbar, dll
SMU    Anak sudah memahami Islam sebagai sebuah mabda, dan mulai ditumbuhkan untuk mengambil peran dalam memuliakan Islam dan kaum muslimin sesuai dengan posisinya masing-masing.  Materi yang urgen:
1)    Analisa siroh nabi
2)    Ulumul Qur’an
3)    Ulumul hadits
4)    Bahasa Arab lanjutan
5)    Ushul fiqh
6)    Mulai diungkap pemikiran-pemikiran kufur yang merusak, aliran-aliran sesat dan ajaran-ajaran yang membahayakan
7)    Belajar ketrampilan khusus untuk mempersiapkan anak terjun ke masyarakat: komputer, elektro, jurnalistik, menjahit, percetakan, memasak, akuntasi, montir, dll.  Dan anak didorong untuk mengembangkan diri sesuai dengan kemampuan dan bakatnya agar dapat memperoleh kemampuan maksimal dalam ketrampilan-ketrampilan khusus tersebut.
8)    Latihan berdiskusi dan menyampaikan materi ke Islaman
9)    Mulai mengikuti kegiatan-kegiatan edukatif yang ada dengan aktif seperti seminar, bedah buku, tagligh akbar, dll.
10)    Mulai aktif mengirimkan tulisan-tulisan ke media masa.
11)     Mulai mengkaji Islam secara langsung dari kitab-kitab berbahasa Arab
Perguruan Tinggi/ Pasca SMU    Anak sudah menjadi anggota masyarakat yang siap bergerak bersama-sama masyarakat secara mandiri. Materi yang urgen:
1)    Berinteraksi, berdiskusi dan berargumentasi serta berdebat menghadapi pengaruh ideology/kebudayaan selain Islam
2)    Terus menggali tsaqofah Islam untuk diterapkan pada masalah-masalah yang dihadapinya di lingkungan masyarakat local maupun internasional
3)    Menjadi panutan dan tempat bertanya bagi masyarakat di sekelilingnya
4)    Dapat memanfaatkan ketrampilan-ketrampilan khusus yang dimilikinya sehingga dirinya menjadi eksis di masyarakat
5)    Belajar bahasa Inggris/Arab agar dapat berkomunikasi secara internasional
6)  Belajar menjadi muqallid muttabi’ dan berijtihad dengan modal tsaqofah Islam yang memadai, sehingga akan muncul para mujtahid yang sangat diperlukan ummat manusia di seluruh dunia.
  
Tabel ini diperuntukkan bagi selain yang mengenyam pendidikan pesantren, karena kalau di lingkungan pesantren kesehariannya tentu mengikuti aturan yang sudah dibuat pesantren tersebut .
Ada suatu cerita dari sekolah hafalan qur’an anak balita “Namanya Muhammad Husain Tabatabai. Dalam usianya yang baru lima tahun (sekarang sih, mungkin 13 thn-an), dia sudah menghapal seluruh isi Al Quran, plus dengan artinya. Bak komputer, ia mampu menyebutkan ayat pertama dari setiap halaman Al Quran, baik berurutan dari depan ke belakang, atau dari belakang ke depan. Dia mampu membacakan ayat-ayat dalam satu halaman secara mundur (dari ayat terakhir hingga ayat pertama). Dia mampu menjawab pertanyaan “Apa bunyi ayat dari surat sekian, ayat sekian? ” atau sebaliknya, “Ayat ini berasal dari surat mana, ayat berapa?” Dia bisa menjawab pertanyaan tentang topik-topik ayat, misalnya “Sebutkan semua ayat dalam Al Quran yang berhubungan dengan Isa bin Maryam.” Pada usia enam tahun, dia mendapat gelar Dr. HC dari sebuah universitas Islam di London.
Ketika saya mengandung Kirana, saya dan suami telah bercita-cita memasukkan anak kami ke Jamiatul Quran , sebuah sekolah hapalan Quran untuk anak-anak yang didirikan oleh ayahanda Muhammad Husain Tabatabai, setelah beliau berhasil mendidik anaknya menjadi hafiz Quran. Akhirnya, ketika Kirana berumur empat tahun, cita-cita itu tercapai. Sejak empat bulan yang lalu, Kirana mulai belajar di Jamiatul Quran. Inilah sekelumit cerita tentang sekolah itu:
Anak-anak balita yang masuk ke sekolah ini, tidak disuruh langsung menghapal juz’amma, melainkan setiap kali datang, diperlihatkan gambar kepada mereka, misalnya, gambar anak lagi cium tangan ibunya, (di rumah, anak disuruh mewarnai gambar itu). Lalu, guru cerita tentang gambar itu (jadi anak harus baik…dll). Kemudian, si guru mengajarkan ayat “wabil waalidaini ihsaana/Al Isra:23” dengan menggunakan isyarat (kayak isyarat tuna rungu), misalnya, “walidaini”, isyaratnya bikin kumis dan bikin kerudung di wajah (menggambarkan ibu dan ayah). Jadi, anak-anak mengucapkan ayat itu sambil memperagakan makna ayat tersebut. Begitu seterusnya (satu pertemuan hanya satu atau dua ayat yg diajarkan). Hal ini dilakukan selama 4 sampai 5 bulan. Setelah itu, mereka belajar membaca, dan baru kemudian mulai menghapal juz’amma.
Suasana kelas juga semarak banget. Sejak anak masuk ke ruang kelas, sampai pulang, para guru mengobral pujian-pujian (sayang, cantik, manis, pintar…dll) dan pelukan atau ciuman. Tiap hari (sekolah ini hanya 3 kali seminggu) selalu ada saja hadiah yang dibagikan untuk anak-anak, mulai dari gambar tempel, pensil warna, mobil-mobilan, dll. Habis baca doa, anak-anak diajak senam, baru mulai menghapal ayat. Itupun, sebelumnya guru mengajak ngobrol dan anak-anak saling berebut memberikan pendapatnya. (Sayang Kirana karena masalah bahasa, cenderung diam, tapi dia menikmati kelasnya). Setelah berhasil menghapal satu ayat, anak-anak diajak melakukan berbagai permainan. Oya, para ibu juga duduk di kelas, bersama anak-anaknya. Kelas itu durasinya 90 menit .
Hasilnya? Wah, bagus banget! Ketika melihat saya membuka keran air terlalu besar, Kirana akan nyeletuk, “Mama, itu israf (mubazir)!” (Soalnya, gurunya menerangkan makna surat Al A’raf :31 “kuluu washrabuu walaatushrifuu/makanlah dan minumlah, dan jangan israf/berlebih-lebihan). Waktu dia lihat TV ada polisi mengejar-ngejar penjahat, dia nyeletuk “Innal hasanaat yuzhibna sayyiaat/ Sesungguhnya kebaikan akan mengalahkan kejahatan” (Hud:114). Teman saya mengeluh (dengan nada bangga) bahwa tiap kali dia ngobrol dgn temannya ttg orang lain, anaknya akan nyeletuk “Mama, ghibah ya?” (soalnya, dia sudah belajar ayat “laa yaghtab ba’dhukum ba’dhaa”). Anak saya (dan anak-anak lain, sesuai penuturan ibu-ibu mereka), ketika sendirian, suka sekali mengulang-ulang ayat-ayat itu tanpa perlu disuruh. Ayat-ayat itu seolah-olah menjadi bagian dari diri mereka. Mereka sama sekali tidak disuruh pakai kerudung. Tapi, setelah diajarkan ayat tentang jilbab, mereka langsung minta sama ibunya untuk dipakaikan jilbab. Anak saya, ketika ingkar janji (misalnya, janji tidak main keluar lama-lama, ternyata mainnya lama), saya ingatkan ayat “limaa taquuluu maa laa taf’alun” …dia langsung bilang “Nanti nggak gitu lagi Ma…!” Akibatnya, jika saya mengatakan sesuatu dan tidak saya tepati, ayat itu pula yang keluar dari mulutnya!
Setelah bertanya pada pihak sekolah, baru saya tahu bahwa metode seperti ini tujuannya adalah untuk menimbulkan kecintaan anak-anak kepada Al Quran. Anak-anak balita itu di masa depan akan mempunyai kenangan indah tentang Al Quran. Di Iran, gerakan menghapal Quran untuk anak-anak kecil memang benar-benar digalakkan. Setiap anak penghapal Quran dihadiahi pergi haji bersama orangtuanya oleh negara dan setiap tahunnya ratusan anak kecil di bawah usia 10 tahun berhasil menghapal Al Quran (baik berasal dari Jamiatul Quran, maupun sekolah-sekolah lain). Salah satu tujuan Iran dalam hal ini (kata salah seorang guru) adalah untuk menepis isu-isu dari musuh-musuh Islam yang ingin memecah-belah umat muslim, yang menyatakan bahwa Quran-nya orang Iran itu lain daripada yg lain. Sepertinya, saya memang harus bersyukur bahwa Kirana memiliki kesempatan untuk bergabung dalam gerakan menghapal Quran ini . “

c.    Pendorong Keberhasilan Anak
Setelah kita mengetahui hal-hal yang menyangkut pendidikan dalam membentuk generasi qur’ani, maka yang terakhir adalah sesuatu yang sering kita lupakan, yakni mendoakan anak.
    Anak-anak kita memang lahir melalui kita, tetapi bukan milik kita. Sering orangtua menghendaki anaknya begini atau begitu, tetapi dirasa sulit mencapainya. Tidak perlu mengalah apalagi menyerah. Berusaha terus. Jangan lupa, ada senjata orangtua yang sangat utama: doa! Setiap kali usai shalat, doakanlah anak-anak kita agar mengenal dan mencintai Allah dan Rasul-Nya. Bayangkan wajah mereka satu persatu mulai dari yang terbesar.
Doakan satu persatu sambil menyebut namanya. Mintalah kepada-Nya dengan penuh kesungguhan dan tetes airmata kecintaan. Akan bagus jika itu dilakukan juga di tengah malam saat para malaikat turun ke langit dunia, setelah shalat malam. Ya, Allah, jadikanlah anak-anak kami mengenal dan taat pada-Mu, mencintai-Mu dan Rasul-Mu serta selalu memegang teguh agama-Mu yang senantiasa mengikuti ajaran-Mu yang selalu berpedoman pada al-Qur’an-MU. Amin.
C.    Generasi Qur’ani Menuju Masyarakat Madani
Prof. Dr. Nasruddin Baidan (2001:178) menjelaskan bahwa masyarakat Madani atau dalam istilah kekinian dikenal dengan istilah ”civil cociety” merupakan sebuah tatanan sosial yang berada di Madinah pada masa Nabi Muhammad SAW. Masyarakat Madani merupakan tatanan masyarakat yang terdiri dari berbagai etnis dan ras serta menjadikan Islam sebagai agama yang menuntun kehidupan mereka ke jalan yang benar dalam berbagai aspeknya seperti ubudiyah, mu’amalah, munakahah dan sebagainya. Dalam konteks sekarang, masyarakat Madani dapat diwujudkan melaui 3 (tiga) tahap.
Pertama, tahap pembentukan. Pada tahap ini dilakukan melalui 3P, pendidikan, pengamalan dan penerapan. Apa yang dididik, diamalkan dan diterapkan? Tentu saja Al Qur’an dan As Sunnah.
Kedua, tahap pembinaan. Setelah masyarakat Madani terbentuk dilakukan pembinaan. Pembinaan dilaksanakan mulai dari pendidikan dasar baik formal atau non formal sehingga dapat maksimal.
Ketiga, tahap pengukuhan dan istiqomah. Pada tahap ini masyarakat kita telah secara resmi menjadikan Islam sebagai rujukan dan tuntunan hidup. Al Qur’an dan As Sunnah sebagai sumber hukum dan dijaga bersama oleh umat Islam dan dilaksanakan oleh seluruh masyarakat. Dengan demikian terwujudlah apa yang menjadi cita-cita bersama, yakni masyarakat yang madani .
Wacana tentang masyarakat madani di Indonesia memiliki banyak kesamaan istilah dan penyebutan, namun memiliki karakter dan peran yang berbeda satu dari yang lainnya. Menurut Anwar Ibrahim, sebagaimana dikutip Dawam Raharjo, masyarakat madani merupakan system social yang subur berdasarkan prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan individu dan kestabilan masyarakat.
Sejalan dengan gagasan Anwar Ibrahim, Dawam Rahajo mendefinisikan masyarakat madani sebagai proses penciptaan peradaban yang mengacu kepada nilai-nilai kebijakan bersama. Menurutnya, dalam masyarakat madani, warga Negara bekerja sama membangun ikatan sosial, jaringan produktif dan solidaritas kemanusiaan yang bersifat non-negara . Yang mana jika semua masyarakatnya senantiasa menggunakan al-Qur’an sebagai asas berkewargaannya maka hal tersebut akan menjadi mudah.
 
BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari pembahasan ini maka al-Qur’an sangatlah penting ditanamkan sejak dini, karena al-Qur’an sebagai pedoman umat manusia di seluruh jagad raya ini. Rasulullah SAW bersabda:
"Siapa yang membaca Al Quran, mempelajarinya dan mengamalkannya, maka dipakaikan mahkota dari cahaya pada hari Kiamat, cahayanya seperti cahaya matahari, kedua orang tuanya dipakaikan dua jubah (kemuliaan), yang tidak pernah didapatkan di dunia, keduanya bertanya: mengapa kami dipakaikan jubah ini: dijawab: "karena kalian berdua memerintahkan anak kalian untuk mempelajari Al Quran".(HR Al Hakim,Imam Ahmad,dan Ad Darimi)
“Perumpamaan orang yang mempelajari ilmu pada waktu kecil adalah seperti memahat batu, sedangkan perumpamaan mempelajari ilmu ketika dewasa adalah seperti menulis di atas air”. (HR ath-Thabrani dari Abu Darda’ ra.)
Rasulullah saw. bersabda (yang artinya):
“Siapa yang mempelajari al-Quran ketika masih muda, maka al-Quran itu akan menyatu dengan daging dan darahnya. Siapa yang mempelajarinya ketika dewasa, sedangkan ilmu itu akan lepas darinya dan tidak melekat pada dirinya, maka ia mendapatkan pahala dua kali”. (HR al-Baihaqi, ad-Dailami, dan al-Hakim).

B.    Saran
Saran kami adalah bahwa pendidik itu adalah pekerjaan yang sangat mulia. Maka dari itu marilah kita menerapkan metode pendidikan kita sesuai dengan menunya dengan harapan bias berhasil menancapkan ilmu yang bermanfaat. Semoga kita dan anak cucu kita dijadikan Allah SWT sebagai umat yang selalu berpegang teguh pada al-Qur’an dan mengamalkannya, aaamiiin.






DAFTAR PUSTAKA

http://www.eramuslim.com/editorial/membentuk-generasi-qur-ani.htm
http://c.1asphost.com/sibin
http://ccc.1asphost.com/assalamquran
http://badkotpasrandakan.wordpress.com/2008/04/21/membangun-generasi-qurani-menuju-masyarakat-madani/

A. Ubaedillah dkk, (Pendidikan Kewargaan/Civic Education,Jakarta, ICCE UIN Syarif Hidayatullah dan The Asia Foundation, 2006) hlm 302-303.

http://bundakirana.multiply.com/journal/item/10, tim rumah qur’ani

3 komentar:

  1. Mas ini kuliah dari mna?..saya ngambil kutipan ini dalam skripsi saya..jdi sya perlu tahu dmana mas kuliah ?..jurusan? Dan fakultas apa?..tahun berapa?

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus